Pages

Tuesday, 29 January 2008

I love you and olive juice




Say ‘olive juice’ in front of mirror, without voice, and you’ll find the mouth gesture saying ‘I love you’. It can be use to fool people though.. hihi..


Berbicara mengenai cinta, pandangan kebanyakan adalah hubungan antara dua insan pria dan wanita yang saling mencintai, karena itu adalah sebuah pandngan yang sangat umum. Saya pribadi mengenai hal ini, akan mundur dan banyak bertanya kepada teman-teman yang sudah punya pasangan.

“What was it like?”, tanya saya. Kebanyakan dari mereka akan berkata biasa saja.

“What was it like, for the first time?”, saya ganti pertanyaan saya sebelumnya. Lalu mereka, akan mulai berfikir dalam.


Salah seorang teman saya berkata bahwa untuk pertama kalinya pacaran, adalah hal yang membahagiakan karena dia senang ada yang menyukainya. Tentu saja itu cinta monyet jaman SMP, dimana lingkungan pergaulan yang kejam membuat dirinya dikucilkan, dan lelaki itu lah yang menjadi kunci masuk ke gerbang perbedaan. Katanya, “Padahal gua dulu jelek banget , tapi ada yang naksir gua dan gua seneng..” Iya memang di fotonya dia buruk banget, dibandingkan sekarang yang total cantik.


Lain lagi satu teman saya yang baru pertama kali pacaran ketika kuliah tingkat 3. Kontan kehidupan pertemanannya hancur karena perhatian dipusatkan kepada si laki-laki itu, yang akhirnya juga: putus. Ah.. Dia pernah memberi wejangan sama saya: “Jangan lupakan teman, fit..” Saya manggut-manggut, ikut merasakan pengabdian yang besar kepada pacar dengan resiko mengorbankan pertemanan.

Jangan korbankan pertemanan sedemikian erat hanya karena satu orang pacar.

Ah, love is blind, it’s true, Tiffany..


“What was it like then, to have another new one after breaking up with the last one?”, saya tambah pertanyaan saya.

“Sebenarnya semuanya itu adalah pelajaran.”, kata teman saya lagi yang baru saja sekitar sebulan jadian dengan yang ke.. tujuh kalinya? Lupa.

“Lo berhubungan sama seseorang, lo saling mengenal satu sama lain, dan dalam proses pengenalan itu, lo merasakan ada hal yang beda dan tidak membuat lo nyaman, maka lo putus. Dan lo kemudian disayang oleh seseorang yang baru, dan lo menyukainya, dan lo jadian sama dia. Seperti itu.”, katanya.


Lagi-lagi saya manggut-manggut serasa mengerti saja padahal tidak karena saya tak berada di posisinya. Ya, tak berada di posisinya sama seperti teman saya pernah bertanya, “Gimana sih rasanya fit, lo nggak ada bokap dari kecil?” Jawab saya super simple, “Nggak ada perasaan apa-apa, sedih atau kehilangan, karena merasakan punya pun tak pernah. Jadi, nothing to loose.” Rasa memiliki itu besar impact-nya ke kehidupan manusia. Selama menjalin hubungan otomatis pernah ada rasa sayang, memiliki, dan kita menjadi orang yang ‘serasa’ kenal banget si dia. Lalu rasa itu hilang karena suatu hal dan dihadapkan atas dua pilihan: menghapus kenangan atau menyimpannya. Pilihan itu pun masih dilanjutkan oleh pilihan lain: terus berduka atau maju.


Ada salah seorang teman saya lagi yang kerap memikirkan tentang cinta dan esensinya dalam kehidupannya. Hubungan yang dipertanyakan antara dia dan pacar (atau mantan? Atau teman mesra tapi nggak mesra? Yeah.. dipertanyakan kan kata saya tadi..), juga mempertanyakan adanya status dan cinta diantara mereka. DIa tipe yang: dengan cinta, semuanya akan bisa dilalui. Hidup dengan cinta. Asal ada cinta, apapunlah..

Entah kenapa saya tak dapat mencerna pikirannya dengan baik. Oke, dia sangat menomorsatukan cinta diatas segalanya, hanya saja bagi dia, statement mengenai :apapun yang terjadi, asal ada cinta, maka selamatlah sudah..


Bodoh.


Saya sudah pernah melihat akibat dari orang yang menikah demi cinta. Cinta, menjadi makanan kesehariannya. Demi cinta, status tak masalah. Demi cinta, ekonomi tak masalah. Demi cinta, MBA pun akan dilalui dengan menikah di KUA. Demi cinta, bagaimana ya caranya mencari uang sedangkan anak sudah lahir? Demi cinta, lebih baik kita berpisah saja karena keadaan ekonomi memberatkan kita semua. Demi cinta, pasti ada yang mau menampungmu demi cinta. Demi cinta, kamu akan selamat sendiri.

Kemana cinta yang mereka halalkan di awal hubungan mereka?


Gila.



Semua bikin gila, termasuk orang di sekitarnya. Terbukti di mata saya sudah: bukan hanya demi cinta, tapi juga logika, perasaan, dan perhitungan. Hello guys… Semua yang tidak dibarengi dengan persiapan yang matang, hasilnya pun akan seenaknya saja. Kamu akan punya pasangan, kamu akan punya tempat tinggal, kamu akanpunya keturunan. Live with that, think about that.

t.h.i.n.k. Arr arr arrrrr….


Ah, balik ke permasalahan cinta dan cinta. Syukur yang sangat besar amat sangat saya panjatkan kepada yang pernah menciptakan saya. Saya dikaruniai cinta, dari sudut pandang saya sendiri. Saya punya keluarga yang tidak sempurna, saya punya sahabat yang bisa dihitung jumlahnya, teman yang dalam jumlah tertentu yang mengenal saya, saya punya cinta yang bisa saya sebarkan dan saya menerima cinta dari mereka pula.

Ada saat saya merasa tak ada yang cinta sama saya karena saya sendirian, kesepian. Mana laki-laki yang akan mendampingi saya? Dimana teman-teman saya, saat mereka pacaran dan saya tidak? Keluarga? Kan bisa ketemu setiap hari? Saya menjadi orang yang –nice-try-dude-, mencoba agar dicintai dan mencintai seseorang. Saya menjadi pribadi yang, tunggu.. menjadi? Iya, saya menjadi bukan saya.

Saya pernah kasihan sama teman saya yang suka sama junior di kampus. Pada akhirnya junior itu jadian sama laki-laki lain dan teman saya itu mengaku kalau dia pernah suka sama si junior dan junior pun berkata bahwa dia juga demikian, tapi karena teman saya nggak maju dan junior itu merasa nggak serius, jadi ia melupakan kemungkinan teman saya dan menerima ajakan cinta dari yang lain. Kalau sudah begini, siapa yang salah? Siapa yang rugi?

You know what, disaat kita meminta yang terbaik dalam doa kita, atau disaat kita meminta sesuatu yang spesifik, sebenarnya Dia memberikannya. Bukan dalam bentuk spesifik, tapi dalam bentuk jalan. Ia, jalan yang ada di depan muka kita dan tergantung kita yang emnjalani serat mengambil keputusan. Lalu, tergantung pemikiran kita. Kita mau menyesal, atau tidak. Kita tahu kok yang terbaik buat kita. Tapi terkadang kita butuh keyakinan. Nah, keyakinan itu lah yang harus dibuat.


Lalu lalu lalu, setelah orang yang saya taksir tahu kalau saya suka dan saya puas, sudah kah? Itu dia. Satu hal yang tidak saya pikirkan. Keyakinan saya, suka orang, terus bilang, terus dia tahu, dan saya puas. Namun ada yang terlupa: mau sampai kapan begini? Hmmm…


Lama saya memikirkan akhirnya masuk ke dalam sebuah kesimpulan. Biar banyak teman yang menyuruh saya jadian, karena saya hanya satu dari beberapa orang di kamous yang sama sekali belum pernah pacaran, saya akhirnya mikir bahwa: nanti juga ada waktunya. “Kalau nggak nyari, terus mau kapan jadinya?”, tanya teman saya. Well.. karena itu bukan menjadi prioritas saya, jadi saya tidak begitu memikirkan. Saya senang diberi kesempatan untuk berkenalan dengan laki-laki serta akrab dengan makhluk itu semenjak sebelum kuliah, saya sama sekali nggak punya teman laki-laki kecuali supir-supir antar jemput yang nongkrong di warung tempat saya menunggu. Ya itu dia, belum menjadi prioritas utama. Salah seorang teman saya pernah bilang, “Apa nggak lebih baik berprestasi dulu ya? Cewek kan gampang. Tinggal nunggu aja, ntar banyak yang datang.”. Tapi saya mikir, berprestasi? Itu pasti saya lakukan tanpa harus mikir dua kali. Jadi, seiring saya berprestasi, bekerja, freelance atau tetap, mencari uang adalah hal yang utama saya dahulukan karena saya punya keluarga untuk diberi makan.


Memang, ingin rasanya kembali (kembali? Belum pernah juga woy!) mengenang masa – masa kala percikan asmara kecil-kecil melambai kearah saya. Rasa deg-deg an saat pdkt (belum pernah), rasa sedih ketika kenyataan berbicara (ini sering), dan rasa saat disukai orang (pernah sekali) dan menyukai dia balik (sama sekali belum kejadian). Ah.. cinta!


Jalankan hidup seperti biasa dan pintar-pintar melihat kesempatan yang ada. Just like Rachel once said in Friends, “Anything happen for a reason”. Tapi saya nggak setuju dengan lagu akhiran Que Sera Sera: “whatever will be, will be.” We can prevent things from happening.



So?



Olive juice isn’t as good as I love you in the real meaning, don’t you think so?

1 comment:

tell me what you think!