Pages

Monday, 30 June 2008

Rokok


Pertentangan tentang rokok seperti nggak ada habisnya.Pada dasarnya saya sangat nggak peduli sama orang yang merokok. Berada di dekat mereka, fine saja. Palingan baju jadi bau. Kalau mereka merokok light sih, nggak bau-bau amat. Paling parah kalau udah yang aneh-aneh. Kalau gamau mati duluan sepeti katanya nasib second smokers, ya, tinggal jaga jarak.

Cuma yang bikin saya marah ya itu. Ngerokok di angkutan umum. Nggak tahu etika apa? Ya nggak lah. Yang ngerokok di angkutan umum ya kan bisa dilihat orangnya kayak apa. Paling banter sih, kalau saya masuk ada rokok, nyepet aja, ”ROKOK,LAGI!?” ya dengan penekanan nada. Atau saya liatin tanpa henti dengan mata tanpa perasaan ini (thank God i was born with it) sampai dia beraksi eh eh ah ih dan segera turun atau mematikan rokok. Terus, kalau dia pikir merokok di pintu masuk dan asepnya nggak akan masuk, PIKIR 3 KALI. Tolol. Jika titik kesabaran udah habis (biasanya sih urusan gini nggak pakai titik kesabaran) langsung saja dilabrak, ”Mas asepnya tetep aja masuk!” atau apalah yang keluar disaat orang lagi emosian.

Orang dekat merokok? Ah.. mereka tahu kok bahaya merokok. Lagian, semua orang akan mencoba merokok, dan ada beberapa yang mendapatkan kesenangan, jadi ya biarkan saja. Itu hak asasi sih. Dan pilihan juga. Asal tahu tempat dan sikon saja.

Saya merokok? Pernah banget nyobain, inget banget, Gudang Garam kelas 2 sd. Di belakang rumah sam atemen se TK dulu. Maish cupu, isep di mulut, keluarin. Seneng. Tepuk tangan karena lucu. Udah gitu rehat sampai SMP, di antar jemput sama supir. Gudang Garam juga. Lalu rehat. Sampai terakhir kuliah. Pastinya karena bebas dari orang tua. Iseng-iseng coba sambil ngaca. Keren nggak? Tetep aja, asep di mulut terus keluarin. Nggak dimasukin paru-paru. Habis nggak tau caranya! Diajarin juga nggak genah. Malah batuk adanya. Sampai muka merah. Tapi skill merokok saya jago loh. Bisa masuk idung, bikin buletan. Sebenarnya udah gitu aja. Suma kenikmatannya itu loh, nol. Tidak memperolah kenikmatan seperti apa yang orang bilang tentang rokok. Yang ada, ketika saya masukin lewat idung selama 5 kali berurutan, saya jadi mengilhami Bob Marley banget! Langsung sedetik kemudian jadi Jammin. I wanna Jammin with you. Dan jatuh ke lantai kayak orang darah rendah. Sakit sialan kejedotnya. Dan satu lagi, dilihat dari luar pun saya nggak cocok ngerokok. Seperti, ”Nice Try, Fit!” SO, i quit. Hehe :P

Tapi tidak ada namanya keluarga yang merokok. Kalau saya boleh memilih, kalau bisa jangan deh. Nggak ada lagi deh ngeliat 2 paru-paru hitam berlendir kayak om saya. Atau meninggal komplikasi akibat rokok dan kawan-kawannya kayak ayah saya. Sekali lagi, kalau bisa memilih, saya mau tinggal dan hidup lebih lama dengan keluarga saya. Sekarang dan kelak.

Piss.

Tuesday, 17 June 2008

The Fall


for all surreal art fans, this is it, this is the movie . .

Percaya

Bagaimana saya bisa bikin saya percaya kalau saya sendiri tidak mau percaya?
Kamu bisa bikin saya percaya?

Coba bikin saya percaya!
Apa? Bagaimana?

Percayakan saya sesuatu.
Tapi saya tidak mau yang itu,
Karena.. Ya, saya tidak percaya itu.

Yang lain ada?
Kamu kehabisan apa yang bisa membuat saya percaya?
Karena saya nggak hentinya tak percaya, ya?

Hahaha!

Kepercayaan saya sudah mulai pupus, karena kamu suka bikin saya nggak percaya.
Habis kamunya juga tidak mempercayakan dirimu untuk dipercaya sih!
Berlagak tak ada apa-apa, diam seribu bahasa, takut salah, dan takut ketahuan,

Iya kan?!

Bagaimana dong saya bisa percaya kalau kamu tak berkata.
Bukannya saya tak percaya tindakan namun percaya kata-kata,

Tapi tindakan kamu juga yang terselubung.
Berharap saya mengerti. Saya bukan peramal.

Tahukah,
Saya mau sekali mengerti,
Saya ingin sekali mengetahui,

Tapi saya pun takut,

Kalau saya terlalu percaya diri.
Serasa saya tahu apa bentuk percaya diri terselubung kamu

Bagaimana kalau saya benar, katamu?
Bagaimana kalau saya salah.
Kenapa kamu tidak bilang saja?
Kenapa kamu tidak percaya?

Kepercayaanmu bisa menjelaskan semua,lho..
Semua ketidak percayaan yang sudah ada sampai sekarang.

Percaya sama saya. . .

Sunday, 8 June 2008

One and the lost of its only one

“a heartless one, you say?”, ask one to another.
“yes, for the third time, yes. .”
“but one could never imagine having none instead of one. How could that possibly be?”
“believe me, it happened long ago before one ever realized. .”
“that..?”
“that one has lost it’s one and only heart.”